Penyanyi Korea saat ini dikritik media Jepang karena masalah hukum baru-baru ini, khususnya mengenai KARA dan sub-group TVXQ, JYJ. Wartawan memberi komentar pada komplain idol terkait kompensasi dan kurangnya komunikasi dengan agensi dan label rekaman mereka. Ini terjemahannya:
2 Februari, Japan News melaporkan, Majalah mingguan Jepang membahas konflik soal idola K-pop dan manajemennya seperti Dong Bang Shin Ki dan KARA, terhadap ‘wacana kekeluargaan’ aneh milik Korea. Majalah Jepang Shukanbyun mewawancarai banyak orang termasuk veteran K-pop dan DJ radio Furuya Masayuki, perwakilan musik yang bekerja dengan KARA, wartawan hiburan Jepang, dan perwakilan label rekaman Jepang. Shukanbyun mengeluarkan beberapa investigasi komprehensif mengapa “Dunia hiburan Korea tak punya pilihan kecuali berkonflik.”
Perwakilan label rekaman Jepang mengatakan, “Bahkan jika seorang penulis lagu senior menjual hak cipta kepada lagu juniornya, si senior tak bisa menolak dan terpaksa menelan ludah. Ada hubungan hierarkis di Korea yang tak ada di Jepang.”
Di Korea, wacana kekeluargaan unik diterapkan dalam industri hiburan. Karenanya hubungan antara artis dan manajemen tidak dipandang sebagai hubungan bisnis namun adalah hubungan familial. SM Entertainment lebih suka menyebut artisnya dalam kelompok ‘SM Town’, dan YG Entertainment memiliki ‘YG Family’; kedua perusahaan secara aktif mengembangkan citra ini. Karena perusahaan digambarkan sebagai keluarga, maka CEO yang berperan sebagai ayah, tak bisa ditentang. Orang awam mungkin akan berpikir sebelum mengajukan tuntutan, ada kemungkinan bisa memecahkan masalah yang ada dengan dialog. Namun artis yang sudah teken kontrak tak punya pilihan lain kecuali merespon, ‘Seperti keinginanmu’, kepada figur ayah yang mengingatkan mereka ‘Aku akan mendapatkanmu lagi.’
Furuya Masayuki, yang jadi MC di salah satu acara KARA, “Tindakan mengajukan gugatan hukum dalam dalam konteks sinyal ini untuk membuka dialog, karena tak ada jalan lain.”
Menurut liputan JP News, majalah ini tak hanya merujuk pada wacana kekeluargaan Korea yang aneh namun juga metode pembinaan idol yang aneh. Sistem ini akhirnya berlabuh pada ‘kontrak budak’ karena manajemen membutuhkan biaya asrama, makanan, belajar, transportasi dan les selama masa trainee lewat audisi hingga debut. “Untuk setiap 100 trainee yang diterima, hanya 5 yang akan jadi bintang. Lima orang itu tak ada pilihan lain kecuali bertanggung jawab dan mendapatkan lagi biaya yang sudah dihabiskan oleh 100 trainee. Dalam kasus DBSK. kontrak 13 tahun mereka mendapat julukan ‘kontrak budak’ namun terlalu panjang kontraknya karena tak dapat diketahui berapa yang akan mereka hasilkan dalam berapa waktu setelah mereka jadi bintang.”
“Jika panjang kontrak diperpendek untuk membuat biaya investasi dalam waktu lebih singkat, manajemen menekan jadwal berlebih pada artis. Seperti kesalahan strategi sehingga membuat penonton muak yang akan menyebabkan jangka waktu karir si artispun memendek.”
Majalah ini juga menjelaskan metode penghitungan pendapatan di industri hiburan Korea yang kontradiksi berlebihan. Mr. Yamada, Pimpinan Asia Authors’ Association, “Saya pernah memperlihatkan kepada penyanyi Korea pendapatan dari royalti untuk bulan itu. Melihatnya, si penyanyi bertanya ‘Ini layak untuk berapa tahun?’ Saya terkejut.”
Dia mengkritik pernyataan kompensasi hak cipta di industri hiburan Korea, yang nyaris merupakan dasar, ini adalah perkembangan yang absurb. Majalah ini memperkenalkan rekaman Jepang dan perusahaan entertainment yang mengkritik artis Korea: “Entertainer Korea hanya tahu menyebutkan uang, uang.” Namun ini karena masalah mengenai uang tidak transparan di Korea dan mereka datang ke Jepang dan memperlihatkan reaksi sensitif sehubungan dengan kontrak dan uang.
Publikasi mingguan menyebutkan, “Artis Korea memperluas pasar karena tak mungkin survive di pasar domestik. Pasar CD Korea sangat menyusut sehingga sulit menemukan toko CD di sana. Pengunduhan ilegal merajalela, sehingga nyaris tak mungkin mendapat royalti. Karena orang-orang bisa menonton artis di TV, bahkan dari konser solo, tiket tak terjual. Mengingat konteks ini, klaim bahwa KARA ‘di Jepang menghasilkan 10 kali lipat dari apa yang mereka dapat di Jepang’ dan juga ‘KARA adalah pengkhianat gara-gara uang’ sangat disayangkan. Dengan ini, Japan News mengakhiri liputannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar